Rabu, 23 Februari 2011

kritik sastra novel pasar karya kuntowijoyo

RESIDU UNSUR KELISANAN
DALAM NOVEL PASAR KARYA KUNTOWIJOYO

Residu Unsur Pemikiran Lisan Konservatif

Residu ciri konservatif dalam novel Pasar adalah gagasan dualisme. Gagasan dualisme (serba dua) ini dianggap sebagai residu pemikiran lisan, karena dualisme dapat dilacak keberadaannya semenjak budaya lisan tra-disional di Nusantara. Gagasan dualisme dapat ditemukan dalam mitologi atau cerita rakyat tentang asal-usul dunia dan manusia. Ada dualisme antara alam atas dan alam bawah, dualisme kosmis dirupakan sebagai matahari dan bumi. Dongeng tentang asal kejadian melalui pasangan orang tua dunia tersebar paling luas tanpa diketahui pusat penyebaran atau dasar perban-dingannya (Subagya, 1981:91-92). Beberapa kelompok etnis memiliki istilah khusus untuk menyebutkan gagasan dualisme ini. Arah ke atas (ngaju, mudik) dan
arah ke bawah (ngawu, hilir) (Dayak Ngaju). Di Bali ada kon-sep klasifikasi bipartisi kaja-kelod. Kaja, segala yang mengarah ke atas, gunung, timur; kelod, segala yang mengarah ke bawah, laut, barat (Subagya, 1981:98). Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa dualisme mencakup tiga pengertian. Pertama, satu Dzat yang memiliki dua sifat berlawanan sekaligus, misalnya mempesona dan menakutkan, memberi pahala dan siksa, dekat dan jauh. Kedua, dua substansi yang berbeda, yang berada dalam suatu koeksistensi, misalnya alam atas dan alam bawah, matahari dan bumi. Ketiga, dua eksistensi yang berbeda dan berlawanan, yang memungkinkan terjadinya pertentangan, misalnya baik dan buruk, Korawa dan Pendawa.
Dalam novel Pasar, gagasan dualisme lebih dekat pada pengertian ketiga, yakni dua nilai yang berbeda dan bertentangan, halus dan kasar, dan memungkinkan terjadinya konflik. Nilai halus-kasar ini dipresentasikan dua tokoh utama, Pak Mantri dan Kasan Ngali. Nilai halus dipresentasikan oleh tokoh terpelajar dan nilai kasar dipresentasikan oleh tokoh tidak terpelajar. Kata terpelajar menjadi kata kunci nilai halus, seperti terdapat pada kalimat pertama novel ini, Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, berhubunganlah dengan Pak Mantri Pasar (Pasar:1). Kualifikasi terpelajar memiliki implikasi yang luas dalam pengembangan struktur novel. Tokoh tidak terpelajar adalah Kasan Ngali, seorang pedagang atau tengkulak gaplek bersikap kasar dan memiliki track record riwayat hidup kurang terpuji. Gaplek adalah ikon makanan pokok bagi rakyat dari lapisan bawah, wong cilik, rakyat kecil yang diidentifikasi hidup dalam budaya kasar. Sebaliknya, beras merupakan ikon makanan pokok rakyat dari lapisan menengah ke atas, kalangan priyayi, kalangan masyarakat yang diidentifikasi hidup dalam budaya halus atau adi luhung (bdk. Kayam, 1996:1-6) Kedua latar belakang budaya yang berbeda ini terungkap dari sinisme Pak Mantri terhadap sikap dan gaya hidup para pedagang pasar yang berbudaya kasar. Jadi pedagang? Mimpi pun tidak. Sesungguhnya, Soedjijono, Residu Unsur Kelisanan 221 sekalipun sehari-hari ia hidup bersama pedagang di pasar, ia tak menyukai cara hidup itu (Pasar:4).
Kedua tokoh utama dalam novel Pasar, Pak Mantri Pasar dan Kasan Ngali, yang mempresentasikan nilai halus-kasar ini tidak pernah dikonfrontasikan dalam suatu konflik fisik secara frontal, mulai dari awal hingga akhir novel. Konflik antara dua tokoh ini sebatas dipresentasikan berupa konflik psikis dan tersembunyi, dalam arti berupa ungkapan verbal memaki, mengutuk, atau berupa interior monologue, tanpa pihak lawan hadir secara fisik berhadap-hadapan. Demikianlah, dari awal hingga akhir novel, kedua tokoh tetap berada dalam latar belakang kultur dan gaya hidup masing-masing, tanpa salah satu pihak saling mengintervensi. Kekesalan Pak Mantri terhadap tingkah laku Kasan Ngali yang dinilai kurang ajar terhadap Siti Zaitun (pegawai bank) hanya ditunjukkan dengan kegiatan Pak Mantri mengintip secara sembunyi-sembunyi dari jarak jauh tingkah laku Kasan Ngali.
“Laki-laki tua itu (Pak Mantri Pasar, pen.) mengalangi kantornya dari jauh. Maksudnya untuk melihat dari jauh, dari tempat tersembunyi, bagaimana tingkah laku orang kaya itu (Kasan Ngali, pen.) di depan gadis Bank (Siti Zaitun, pen.). ... Dari jauh, inilah yang dimuntahkan Pak Mantri kepada Kasan Ngali.
“Tidak tahu umur! Tidak tahu malu! Matanya (Pak Mantri, pen.) yang tua masih jelas melihat potongan pedagang kaya (Kasan Ngali, pen.) itu, .... Aduh, biasanya pakai celana komprang kolor. Sekarang bukan main! Lihatlah, he ada babi pakai baju”! (Pasar:69-70).
Nilai halus diperagakan Pak Mantri dalam peristiwa berikut ini. Tatkala datang di kantor kecamatan untuk menemui Pak Camat, Pak Mantri menda-pat perlakuan kurang hormat dari pegawai kecamatan, namun Pak Mantri mereaksi secara santun.
“Ia mendekat dan juru tulis itu berhenti bekerja. Pak Mantri menegur dengan santun,
“Maaf Nak. Apa Pak Camat ada?”
Tukang ketik itu mengangkat muka dan menjawab, Coba ditulis di buku tamu menunjuk ke meja buku tamu. (Pasar:44).
Demikian juga, kebencian Pak Mantri kepada Kasan Ngali diekspresi-kan hanya dalam monolog. Kesalahan Kasan Ngali adalah membuka pasar tidak resmi di pekarangan rumahnya sehingga menimbulkan kesulitan bagi Pak Mantri dalam memenuhi target pendapatan dari karcis pasar resmi. “Pasar baru Kasan Ngali telah mengacaukan pikirannya (Pak Mantri, pen.) benar. Keparat!” (Pasar:64).
Nilai kasar diperagakan Kasan Ngali dengan bahasa dan tingkah laku kasar. Kasan Ngali mengumpat-umpat saat mengetahui Siti Zaitun mem-buang goreng daging burung dara pemberiannya. “Anjing betina! Engkau boleh cantik. Boleh muda. Tetapi jangan sekali-sekali menghina laki-laki. Kasan Ngali masih bisa cari perawan! Coba, sebesek penuh daging dibuang . Perempuan jalang! Lonte! (Pasar:213-214).

Homeostatik

Ciri homeostatik dalam novel Pasar tampak pada upaya menciptakan keselarasan dalam kehidupan. Dalam masyarakat lisan, pemikiran keseim-bangan diupayakan dengan membuang pemikiran masa lalu yang kini tak lagi memiliki relevansi. Pertimbangan terhadap relevansi masa kini juga di-lakukan dengan menyesuaikan pemikiran masa lalu terhadap perubahan-perubahan dalam kehidupan sosial masa kini (Ong, 1989:46,48).
Dalam novel Pasar, residu ciri homeostatik terungkap pada adanya pemikiran keselarasan dalam kehidupan. Sumber kelisanan pemikiran kese-larasan dapat digali dari pemikiran agama suku atau agama asli yang dianut kelompok-kelompok etnis.
“Manusia asli menemukan bahwa hidupnya bergantung dari alam, dan bila dia selaras dengannya hidupnya beres. Keselarasan itu ditentukan oleh praktik, kemudian ia mencoba membenarkan de-ngan mitologi tentang asal-usul alam dan susunan alam (Subagya, 1981:91).
Di sini, ada dua tahap kegiatan dalam menghasilkan pemikiran kese-larasan, tahap empiris dan tahap abstraksi. Kesadaran akan keselarasan hidup dimulai dari pengalaman hidup praktis, kemudian meningkat diabstraksikan ke tahap konsepsional keyakinan religius. Dengan sublimasi pemikiran dari empiris ke abstraksi berupa konsepsi keyakinan-religius, maka produk pemikiran tersebut memiliki otoritas spiritual yang sakral sehingga akan di-patuhi secara dogmatis oleh generasi berikutnya. Dalam pemikiran agama asli masyarakat tradisional terdapat kerinduan eksistensial manusia untuk mengarah ke keselarasan, keseimbangan, kerukunan, harmoni, dan damai (Subagya, 1981:117) Tradisi sebagai sistem memang mempertahankan ekuilibrium, ialah situasi keseimbangan penuh. (Kartodirdjo, 1987:72).
Dalam novel Pasar, pemikiran keselarasan ini terungkap lewat penghentian konflik tersembunyi antara Pak Mantri Pasar vs Kasan Ngali, setelah kedua tokoh itu menyadari bahwa konflik tersembunyi selama ini ti-dak membawa manfaat. Permusuhan tersembunyi antara Pak Mantri Pasar vs Kasan Ngali telah diisyaratkan pada pembukaan novel ini.
“Kalau engkau terpelajar, dan tinggal di kota kecamatan itu, ber-hubunganlah dengan Pak Mantri Pasar. Sebab tidak seorang pun ---kecuali Kasan Ngali, tentu--- yang mengaku orang Jawa tidak me-mujinya. Tanyakanlah kepada Pak Camat atau Pak Kepala Polisi, dan ibu jari mereka akan diacungkan, Nah. Pak Mantri Pasar itu. Begini!” (Pasar: 1).
Permusuhan tersembunyi itu disebabkan oleh beberapa alasan, latar be-lakang keluarga, ekonomi dan budaya. Secara domestik ada perbedaan men-colok antara Pak Mantri dan Kasan Ngali. Sebagai pegawai, secara ekono-mis Pak Mantri tidak kaya, dan tidak pernah menikah. Sebaliknya, sebagai tengkulak gaplek, secara ekonomis, Kasan Ngali kaya dan menjadi duda lima kali. Secara budaya, Pak Mantri hidup dalam gaya hidup halus, gaya hidup priyayi. Sebaliknya, Kasan Ngali hidup dalam gaya hidup kasar, gaya hidup pedagang. Pak Mantri pernah mengungkapkan kekesalannya pada
gaya hidup pedagang.
Selain itu, Kasan Ngali, sebagai duda, suka bertingkah tidak sopan ter-hadap Siti Zaitun, gadis pegawai bank pasar yang berkantor di kompleks kantor pasar Pak Mantri. Dalam rangka merebut hati Siti Zaitun itulah, Ka-san Ngali menunjukkan kekayaannya kepada Siti Zaitun, di antaranya de-ngan membeli mobil, mendirikan pasar dan bank tidak resmi. Keberadaan pasar swasta dan bank kredit milik Kasan Ngali itu mengundang pertikaian dan bahaya karena dapat mengancam keberadaan pasar resmi (Pak Mantri) dalam pelayanan publik dan pendapatan negara berupa pajak pasar yang berasal dari penarikan karcis pasar serta mengancam keberlangsungan hidup bank resmi (Siti Zaitun).
Keberanian mawas diri Pak Mantri membuahkan hasil. Pikiran anti Ka-san Ngali diakhiri secara sepihak. Juga masalah-masalah lain yang meng-ganggu pikirannya.
“Malam hari Pak Mantri selalu tidur dengan tenang. Kemenangan batinnya membuat ia tenteram. Itulah saat-saat paling besar dalam hidupnya. Tidak lagi diingatnya Kasan Ngali, Siti Zaitun, orang-orang pasar. Ia melihat diri sendiri. Penemuannya sungguh me-ngagumkan. Sangat jarang ditemukan orang macam itu dalam se-jarah. Ternyata, dia mampu mengorbankan dirinya sendiri (Pasar: 188) . Sudah berlalu hidup kita yang lama. Sekarang lembaran baru” (Pasar:208).
Sementara itu, Kasan Ngali memupus keinginannya untuk menikah yang keenam kali dengan Siti Zaitun. Dengan sadar Kasan Ngali bergumam, Zaitun, aku tidak menyukaimu lagi! “Zaitun, engkau masih kanak-kanak. Zaitun, engkau kerempeng! Tun, Tun, wah belum bisa apa-apa! (Pasar:229) Demikian pula, keinginannya untuk menikahi Sri Hesti diurungkannya. Ka-san Ngali sadar akan kekeliruannya. Dalam sebuah dialog dengan Jenal (tu-kang cukur sahabatnya) Kasan Ngali berkata,
“Engkau betul, Bung. Betul. Untung peringatkan aku. Perempuan itu (Sri Hesti, pen) telah mencoba memeras aku. Masih juga kuberi kesempatan berpikir lagi. Tetapi andaikata pun ia mau, aku akan menolaknya. Engkau benar. Aku juga sudah ragu-ragu. Kasan Ngali tidak pantas kawin dengan perempuan begitu (Pasar:268).
Kekayaan Kasan Ngali ludes, gara-gara pamer kekayaan untuk menda-patkan Siti Zaitun dan Sri Hesti. Kini dia sadar, bahwa tindakannya menghambur-hamburkan uang adalah suatu kebodohan. Kasan Ngali kem-bali kepada kode etik pedagang.
“Itu kebodohan besar. Pedagang mesti banyak perhitungan. Kalau kau ingin makan sate, tidak perlu kau beli kambingnya! Tidak usah beri makan. Tidak usah memeliharanya! Tidak usah kehilangan uang! Makan enak, sedikit biaya. Mau makan sup boleh. Mau makan soto silakan. Hari ini makan tahu, besok makan sate! Masa! Mau makan sate sepiring saja, seekor kambing mesti dibawa ke rumah, he! (Pasar:269).

Residu Unsur Ekspresi Lisan
Gaya penambah
Sweeney (1987:207) menyatakan, gaya penambah merupakan gaya yang tipikal dalam komposisi lisan. Di dalam naratif, gaya penambah meru-pakan metode untuk menghubungkan elemen-elemen naratif atau merang-kaikan peristiwa-peristiwa. Sesuai dengan konvensi, dalam performansi li-san, penyajian naratif yang sangat umum adalah dengan menjajarkan aksi-aksi atau peristiwa-peristiwa. Dalam pengertian ini, gaya penambah meru-pakan sifat dasar naratif. Dalam dunia kelisanan Melayu, Sweeney (1987:242-246) menyatakan bahwa dalam mengisahkan cerita di depan audiens, para pencerita cenderung menggunakan gaya penambah hampir-hampir eksklusif, dengan penjajaran sederhana sehingga menghasilkan kali-mat-kalimat pendek yang monoton. Partikel dan banyak dipakai di dalam naratif sastra Melayu lama, seperti contoh berikut. Dan dipuji-pujinya benda yang tak ada dilihatnya itu, dan warna yang indah-indah dan suri yang permai-permai itu, dan dipersembahkannya kepada baginda bahwa benda itu sangatlah bagusnya. Dan seluruh kota mempercakapkan benda itu (Hooykaas, 1952:135).
Dalam novel Pasar, konjungsi koordinatif dan terletak di depan.
“Sebagian besar pohon krangkungan rebah ke tanah. Dan tak ada perbaikan” (Pasar:3). “Siti Zaitun memikir-mikir. Dan rasa muaknya timbul “ (Pasar:17).
“Pintu itu dibukanya. Dan Pak Mantri masuk (Pasar:23).
“Sudah mau pulang kena damprat lagi. Dan dari Siti Zaitun lagi (Pasar:54)
“Paijo pergi. Dan Pak Mantri menulis lagi (Pasar:86).
“Paijo tahu memang Pak Mantri tidak ingin diganggu. Dan ia pergi lagi (Pasar:122). Paijo melihat pasar, los-los, sampah. Dan ia harus membersihkan semua itu (Pasar:175).


Gaya kopius (berlebihan)
Dalam tradisi retorik, manifestasi gaya berlebihan tampak dalam peng-gunaan formula, paralelisme, repetisi. Kelimpahan menggunakan kosa kata dan sinonim, menghasilkan ekspresi yang mendetil, bertele-tele dan arti-fisial (Sweeney, 1987:46,176,235,290). Dalam Pasar terdapat deskripsi yang terkesan mendetil dan berlebihan.
“Dalam pakaian putih-putih yang kelongaran --dan luntur-- de-ngan ikat pinggang hitam melilit di perut, sepasang sepatu sandal dengan kaus kaki putih, di kepalanya sebuah topi linen putih, pagi itu Pak Mantri Pasar datang di tempat kerjanya. Tas kulit coklat kehitaman perlengkapan sempurna bagi seorang mantri pasar. Ti-dak seorang pun di kecamatan itu, kecuali mantri pasar, meng-gunakan kelengkapan macam itu. Pak Mantri Pasar dikenal ber-sama dengan kelengkapan itu. Di kota kecil itu pakaian putih, tas, topi, kaus kaki, dan sepatu sandal tidak dikenal dengan cara lain, kecuali hubungannya dengan Pak Mantri Pasar. Kalau engkau tak suka disebut mantri pasar, jangan dipakai dandanan begituan. Sele-bihnya bagi Pak Mantri ialah: pandangan yang lurus ke depan, langkah tergesa sedikit terhuyung, tak peduli orang-orang lain. Mengangguk seadanya pada orang. Kalau Pak Mantri sempat memperhatikan sopir dan kenek itu, ini kekecualian. Ah, perem-puan itu masih dirasanya sebagai penghinaan untuk pasarnya. Itu tak boleh. Keneslah, tertawalah, sembronolah, melacurlah tetapi jangan di pasar Pak Mantri mencoba menerima nasibnya Biar-lah itu terjadi pada orang lain. Asal jangan keluarganya” (Pasar:4).
Satu paragraf yang dikutip di atas merupakan deskripsi lengkap sosok utuh tokoh Pak Mantri Pasar: pakaian lengkapnya, dandanannya, perlengka-pan tugasnya sebagai mantri pasar, hingga status perkawinannya, gerak-geriknya dan pandangannya tentang etika, wanita, nafsu dan budi manusia, tingkah laku pedagang dan sopir. Deskripsi yang sangat rinci dari ciri fisik hingga psikologis dengan mengulang-ulang kosa kata tertentu atau sinonim-nya mengesankan penggunaan gaya berlebihan. Dalam pemahaman yang dijelaskan Sweeney, deskripsi pada paragraf di atas terkesan bertele-tele dan artifisial. Gambaran yang sangat lengkap itu seolah tidak memberikan satu celah pun bagi pembaca untuk berimaginasi lain kecuali seperti apa yang di-gambarkan. Dipahami dari segi lain, deskripsi yang sempurna ini layak di-interpretasi sebagai representasi dari pandangan masyarakat yang diwakili tokoh Pak Mantri, yang mengonsepsikan nilai-nilai kesempurnaan dan keha-lusan. Jadi, deskripsi yang detil dan berlebihan, dari sisi retorika dapat dipa-hami sebagai ekspresi yang bertele-tele dan artifisial, tetapi dari pema-haman lain gaya ekspresi tersebut dapat diinterpretasi sebagai representasi dari model berpikir, cara berekspresi, dan perwujudan konsepsi estetik ba-hasa dari masyarakat yang diwakili oleh tokoh Pak Mantri. Masyarakat yang diwakili Pak Mantri adalah seperti yang diungkapkan Pak Mantri kepada Paijo, Kitalah orang Jawa yang terakhir, Nak (Pasar:270).

Residu Unsur Naratif Lisan
Tokoh datar: watak introvers dan watak ekstrovers

Membahas tipe watak tokoh novel tidak dapat dilepaskan dari pemaha-man tipologi kepribadian menurut teori psikologi. Suryabrata (1983:3-6) menerangkan penggolongan tipologi kepribadian dalam psikologi, pada prinsipnya, didasarkan kepada metode, komponen kepribadian, dan pende-katan yang dipakai sebagai landasan dalam merumuskan teorinya. Pengklasifikasian yang didasarkan kepada pendekatandibagi menjadi dua, pendekatan tipologis dan pendekatan pensifatan. Pendekatan tipologis (typo-logical approach) beranggapan bahwa variasi kepribadian yang tiada ter-hingga banyaknya didasarkan pada sejumlah kecil komponen dasar.Pendekatan pensifatan (trait approach) tidak merumuskan tipologi kepriba-dian, melainkan berupaya memahami dan menggambarkan individu-individu sebagaimana adanya, khususnya mengenai struktur, dinamika, dan perkem-bangan kepribadiannya. Dalam memahami watak tokoh Pak Mantri dan Kasan Ngali, penelitian ini menggunakan pendekatan tipologis. Pembahasan hanya dibatasi kepada dua tokoh itu saja, dengan rasional dua tokoh tersebut merupakan tokoh utama yang memegang peranan sentral dalam pengembangan novel. Sejak awal, kedua tokoh itu telah ditempatkan dalam posisi polaristik, tokoh satu seakan-akan menduduki posisi kutub utara dan tokoh yang lainnya menduduki posisi kutub selatan. Konflik antara keduanya dipresentasikan secara internal-psikis atau secara tidak langsung lewat tokoh lain. Rancangan posisi polaristik antara kedua tokoh itu didasarkan pada perbedaan identitas latar belakang profesi, ekonomi, domestik, dan kultural. Perbedaan yang signifi-kan identitas kedua tokoh itu sebagai berikut.

Pak Mantri Pasar : Kasan Ngali
- pegawai negeri (mantri pasar) : - pedagang (tengkulak gaplek)
- tidak kaya : - kaya
- tidak menikah : - duda lima kali
- terpelajar : - tidak terpelajar
- mengemban budaya priyayi : - hidup dalam budaya wong cilik

- suka pada kebatinan : - suka pada perempuan

Perbedaan data pribadi kedua tokoh itu berimplikasi pada perbedaan watak Pak Mantri Pasar dan Kasan Ngali. Permasalahan utama yang diha-dapi Pak Mantri berkaitan dengan keberadaan ratusan burung dara piaraannya. Tanpa dapat diduga sebelumnya, ratusan burung dara Pak Man-tri ternyata menimbulkan permasalahan yang kompleks dan merambah pada aspek kehidupan yang luas. Burung dara yang semula menjadi klangenan (hiburan) yang menyenangkan akhirnya berubah menjadi musuh yang mengganggu.
Sudah menjadi sikap Pak Mantri untuk menghindari konflik terbuka dengan pihak luar, seperti pernah dikatakannya, Sebaik-baik perbuatan ialah melihat diri sendiri, mawas diri (Pasar: 7) Dengan mawas diri, Pak Mantri berdialog dengan batinnya untuk mendapatkan jawaban dalam menyelesaikan masalah rumit yang dihadapinya. Hasil mawas diri itu adalah sikap mengakrabi diri sendiri.
[a] Juru penghibur yang sejati ialah diri kita sendiri. Kesusahan dan kesu-kaan lenyap dalam hidup kita Hidup ini penuh rahasia. Maka tenanglah hatimu (Pasar:115).
[b] Ketenangan batin ialah senyum yang diperpanjang. Walaupun Marsi-yah, walaupun polisi, walaupun semuanya berusaha meracuni pikirannya, Pak Mantri sudah merasakan ketenangan itu. Pikirannya yang bening mengalirkan gagasan yang bening. Dari sumber yang jernih mengalir air yang jernih pula (Pasar:116).
[c] Kemenangan batinnya membawa ia tenteram. Itulah saat-saat paling besar dalam hidupnya. Tidak lagi diingat Kasan Ngali, Siti Zaitun, orang-orang pasar. Ia melihat diri sendiri (Pasar:188).
Ketiga kutipan di atas merefleksikan pandangan dan sikap Pak Mantri dalam menghadapi berbagai masalah hidup. Bahwa, seseorang harus berani mawas diri, berdialog dengan pikiran dan hatinya sendiri, bukan berdialog dengan orang lain. Ketenangan hidup dicapai bukan karena kontak dengan orang lain, tetapi dengan pikirannya sendiri yang bening dan jernih. Orang harus berpihak kepada batinnya sendiri, melihat dirinya sendiri.
Pandangan dan sikap Pak Mantri sebagai hasil renungannya itu mengi-syaratkan Pak Mantri sebagai tokoh yang memiliki watak tertutup. Merujuk kepada tipologi watak Jung, Pak Mantri termasuk tokoh berwatak tipe introvers. “Orang yang introvers terutama dipengaruhi oleh dunia subjektif, yaitu dunia di dalam dirinya sendiri. Orientasinya terutama tertuju ke dalam: pikiran, perasaan, serta tindakan-tindakannya terutama ditentukan oleh fak-tor-faktor subjektif” (Suryabrata, 1983:194).
Watak tipe introvers terkait dengan pribadi etnisitas. Apabila Pak Man-tri menegas-kan kepada Paijo bahwa “Kitalah orang Jawa yang terakhir, Nak “ (Pasar:270) dan sebagai golongan priyayi Pak Mantri mengemban sosok budaya adiluhung” (bdk. Kayam, 1996:1-6). Maka, sudah seharusnya Pak Mantri merepresentasikan watak tipe introvers. Seorang responden (di Yogyakarta) yang diwawancarai Mulder memberikan jawaban,, “Kami orang Jawa adalah orang-orang yang tertutup”, menjalani “seni kehidupan dengan dirinya sendiri atau menjalani eksistensi yang berpusat pada diri sendiri ” (Mulder, 1985:67,70,71).
Seperti telah diungkapkan, dalam novel ini, tokoh Pak Mantri dan Ka-san Ngali diposisikan secara polaristik. Jika Pak Mantri termasuk tokoh berwatak tipe introvers, Kasan Ngali berwatak tipe ekstravers. Beberapa peristiwa yang dialami Kasan Ngali dan responsnya dalam menyelesaikan permasalahan hidup menunjukkan watak tersebut.
Permasalahan penting yang dihadapi Kasan Ngali (sebagai duda lima kali) adalah menikah yang keenam kali. Siti Zaitun menarik perhatian Kasan Ngali. “Pikirannya selalu menghubungkannya dengan kegiatan mendekati Siti Zaitun” (Pasar:199). Untuk itu, Kasan Ngali mengatur berbagai strategi dalam rangka memamerkan kekayaannya kepada Siti Zaitun. Jadi, motivasi seluruh tindakan Kasan Ngali adalah sosok di luar dirinya, dalam hal ini, Siti Zaitun. Untuk melaksanakan strateginya itu, Kasan Ngali memanfaatkan situasi yang terjadi di luar. Semua tindakan Kasan Ngali untuk menarik perhatian Siti Zaitun, sosok di luar dirinya, dapat dipahami bahwa dia memiliki watak bertipe ekstravers.
“Orang yang ekstravers terutama dipengaruhi oleh dunia objektif, yaitu dunia di luar dirinya. Orientasinya terutama tertuju ke luar: pikiran, perasaan, serta tindakan-tindakannya terutama ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan non-sosial (Suryabrata, 1983:193-194).
Watak ekstravers Kasan Ngali merupakan implikasi dari identitas di-rinya. Sebagai tengkulak gaplek, dia harus banyak berurusan dengan orang yang menjual atau membeli gaplek dagangannya. Oleh karena, gaplek adalah bahan makanan pokok bagi kelompok masyarakat dari lapisan wong cilik maka Kasan Ngali juga hidup dalam lingkungan budaya wong cilik tersebut sebagai kontroversi dari budaya priyayi.


Ajaran moral: mawas diri dan mengorbankan diri

Ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan entah tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral bagi kita adalah pelbagai orang dalam kedudukan yang berwenang, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama, dan tulisan-tulisan para bijak seperti misal-nya kitab Wulangreh karangan Sri Sunan Pakubuwana IV. Sumber dasar ajaran-ajaran itu adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran agama atau ideologi-ideologi tertentu (Magnis-Suseno, 1991:14).
Ajaran moral, bukan hanya urusan sastra yang ditulis pengarang zaman modern. Masyarakat Melayu tradisional yang menghidupkan tradisi lisan bahkan menempatkan ajaran moral sebagai salah satu kriteria dalam menilai sastra yang berkualitas. Motivasi manusia untuk berbuat baik adalah tuntutan suara hati (Kant dalam Magnis-Suseno, 1991:56). Suara hati atau hati nurani merupakan intelek sendiri dalam suatu fungsi istimewa yakni fungsi memutuskan kebenaran dan kesalahan perbuatan-perbuatan individual kita sendiri (Poespoprodjo, 1988:229). Jadi, manusia sebagai pribadi memiliki dorongan kuat untuk berbuat baik sesuai dengn norma yang disetujui masyarakat. Norma kebaikan itu ada yang berasal dari lembaga normatif dari masyarakat, negara, agama (Magnis-Suseno, 1991:50) Demikianlah, indi-vidu merupakan representasi dari kehidupan sosio-kultural masyarakat.
Norma-norma moral yang diinternalisasikan akan membimbing manusia memiliki sikap batin yang kuat, sanggup bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar (Magnis-Suseno, 1991:141). Ong (1989:9) me-nyatakan bahwa makhluk manusia dari budaya lisan primer telah memiliki dan mempraktikkan ajaran kebijaksanaan luhur Apabila ajaran moral juga termasuk di dalam ajaran kebijaksanaan luhur pada masa budaya lisan primer dan naratif merupakan genre wacana yang fungsional pada zaman itu, ini berarti ajaran moral telah semenjak dahulu direkam dan dilestarikan di dalam naratif lisan.
Ajaran moral novel ini adalah keberanian moral untuk melihat diri sendiri, Sebaik-baik perbuatan ialah melihat diri sendiri, mawas diri (Pasar:7). Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik (Magnis-Suseno, 1991:147). Konflik di sini bukan dalam pengertian konflik ekster-nal, melawan orang lain, tetapi konflik internal, konflik psikis melawan diri sendiri, bermakna oto-analisa, mempelajari diri pribadi guna menyadari keinsyafan diri pribadi (Seno-Sastroamidjojo, 1962:31). Keberanian moral Pak Mantri Pasar untuk mawas diri dilakukan dengan menukik ke dalam nurani untuk meninjau kelemahan, kekurangan, kekerdilan, kerendahan, kerakusan,kesombongan, kebobrokan dan sejumlah kualitas psikis lain yang negatif, yang dapat merugikan kehidupan pribadi maupun berdampak negatif dalam kehidupan masyarakat. Sebagaimana diajarkan Pak Mantri kepada Paijo dan Siti Zaitun, Musuh kita terbesar bukan orang itu. Bukan yang datang dari luar. Tetapi dari dalam. Kita sendiri. Ada di dalam sini (Pasar:223).
Selain ajaran keberanian moral untuk mawas diri, Pak Mantri jugamengajarkan kepada Paijo untuk berani mengorbankan diri. Korbankanlah dirimu untuk tujuan yang lebih besar. Dan masyarakat lebih berarti dari sekedar kesenanganmu. Cobalah membahagiakan diri dengan kebahagiaan orang lain (Pasar:201). Dengan keberanian moral untuk mawas diri dan mengorbankan diri, Pak Mantri telah melakukan terobosan besar dalam hidupnya, bukan hanya baik untuk dirinya, tetapi juga baik untuk lembaga pasar yang diurusnya, menggairahkan kembali para pedagang dan para murid untuk kembali rajin sekolah. Ia (Pak Mantri, pen.) melihat diri sendiri. Penemuannya sungguh mengagumkan, sangat jarang ditemukan orang macam itu dalam sejarah. Ternyata, dia mampu mengorbankan dirinya sendiri. Dan hal itu akan ditambahnya lagi. Sesuatu yang tak terjangkau oleh gagasan orang lain. Sambil tiduran ia memikirkan, kalau perlu burung-burung daranya bisa saja di-tangkap (Pasar:188).
Apakah ajaran mawas diri dan mengorbankan diri merupakan residu ajaran moral budaya lisan? Dalam psikologi Jawa, mawas diri bergerak dalam dataran etis psikologis . Mawas diri telah menjadi bagian tak terpisahkan lagi dari kebudayaan Jawa, dalam tradisi mistis maupun etis (Jatman, 2000:34,35). Sementara itu, mengorbankan diri sendiri sinkron dengan naluri masyarakat manusia, residu psikis yang tetap hidup dalam ketaksadaran kolektif. yakni asas altruisme, yakni asas hidup berbakti untuk kepentingan orang lain (Koentjaraningrat, 1986:137).

2 komentar:

pina duwi hadi mengatakan...

Asalamualaikum,wr,wb
Tolong berikan komentar pada Artikelku ini ya?
stidaknya guwe bisa koreksi artikel ku ini, walaupun Artikel ini pernah aku presentasikan dalam kelas,matakuliah teori Sastra tepatnya?kata Dosen Guwe sih Bagus..?:) --> :)
Tapi bgmana mnurutmu..?

pina duwi hadi mengatakan...

ini Artikel guwe bkin ndiri loe?mnurutloe gmana?

Template by : kendhin x-template.blogspot.com